Sabtu, 01 Mei 2010

efektivitas pemasangan aturan kampus STKIP Hamzanwadi Selong

EFEKTIVITAS ATURAN “TERIMA KASIH TIDAK MENGGUNAKAN KAOS OBLONG, SANDAL JEPIT, CELANA JEANS DAN BAJU KETAT” TERHADAP POLA TINDAKAN BERMORALMAHASISWA STKIP HAMZANWADI SELONG

A. Latar Belakang
Orang bijak menyatakan tidak ada individu yang tidak menarik, yang ada hanyalah individu bagaimana mengembangkan diri pribadi sebaik mungkin. Cara memahami bagaimana kepribadian itu dapat terbentuk biasanya dilakukan dengan berbagai pendekatan atau eksperimen yang bisa jadi mengujicobakan apa yang dinginkan untuk mengembangkan diri seseorang menuju kodradnya sebagai makhluk social. Pada dasarnya individu akan dihadapkan pada dua pilihan beserta konsekwensinya, yaitu berubah dan berkembang atau bersikap pasrah dan statis. Bila pilihannya adalah berubah maka dibutuhkan niat dan motivasi yang kuat untuk melakukan perubahan, baik yang memberikan masukan itu dari luar maupun dari dalam diri seseorang tersebut.
Kaitannya dengan pembentukan kepribadian dan tindakan yang mencerminkan sebagai makhluk social, bukan saja berangkat dari diri seseorang itu sendiri saja melainkan adanya dukungan dan stimulus yang kearah mana sosok manusia itu dibawa. Aturan yang dibarengi dengan sanksi menjadikan orang patuh untuk menjalankanya, yang walaupun ada beberapa yang dianggap memilih menyimpang dari aturan itu.
Saat ini, pemerintah maupun segala pihak yang berkaitan dengan peningkatan Indeks Prestasi Manusia mulai berfokus bagaimana pendidikan Indonesia ini tidak lupa akan sejarah bangsa dan menjunjung tinggi nilai moralitas sebagai jiwa-jiwa yang terdidik. Pendidikan masih dipercayai sebagai proses yang mampu memompa tenaga produktif bangsa ini. Tenaga produktif (productive force) adalah suatu kemampuan masyarakat untuk menghasilkan suatu bentuk tindakan dan produk-produk baik yang bersifat ekonomis-teknologis maupun intelektualitas.
Prinsip pendidikan sangatlah komprehensif yang bukan saja dipandang sebagai pemustakaan ilmu pengetahuan maupun menguasai informasi melainkan juga siswa, mahasiswa, individu memiliki tanggungjawab (sense of responsibility) dan kepedulian social yang tinggi.
Ketika pendidikan membentuk watak manusia yang justru mengarah pada kontradiksi kebudayaan, maka pendidikan harus menempatkan dirinya sebagai kekuatan counter-hegemony1) terhadap dominasi (Nurani Soyomukt:2008 :71).
Dalam era kapitalisme (neoliberalisme: pasar bebas) sekarang ini, lembaga pendidikan tidak memiliki banyak waktu untuk mengajari anak-anak didik (pelajar, mahasiswa, masyarakat) tentang cara membangun kebudayan yang memberdayakan. Sekolah, kampus, dan lembaga pendidikan lainnya seakan hanya mengajari menghafal nama-nama para tokoh, teori, sebagai sosok makhluk yang perbendaharaan katanya lebih luas.

Ahmad wahib, seorang pemikir muda dan penulis buku pergolakan pemikiran islam, pada 27 april 1969 menulis:
moral itu lebih bayak merupakan produk atau akibat dari sebab. Karena itu, saya hern setiap mendengar pidato atau khotbah tokoh-tokoh islam yang tekanan pembicaraannya sellu pada moral, moral,.. dan moral. Seolah-olah moral itu alat penyelesaian masalah. Masalah masyarakat. Moral adalah norma dan buka alat penyelesaian. Dia lebih banyak sebagai produk. Karea itu pidato-pidato tentang moral itu tidak realistis….mereka butuh beras, bukan norma-norma. Mereka merindukan bagaimana masyarakat yang sekarang ini menjadi lebih adil, lebih makmur dan bukan orang-orang yang menyodorkan mimpi yang indah-indah tentng masyarakat adil makmur apalagi mereka yang hanya bias bermimpi tentang moral. Moral bukanlah masalah yang berdiri sendiri (nurani soyomukti:2008:83).

Memang begitulah kenyataannya. Di zaman orde baru pendidikan moral adalah mata pelajaran wajib dan mendapatkan perioritas yang utama dengan praktik-praktik seperti menghafalkan butir-butir pancasila dan itupun tampak di era sekarang ini yang dianggap modern oleh makhluk-makhluk materialisme yang berwajahkan islam tulen. Tututan mempraktikkan pendidikan moral di dunia kampus tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan atau memanusiakan manusia kampus/ mahasiswa. STKIP Hamzanwadi memang berada di lingkungan santri tetapi bukan berarti nilai-nilai yang tergelut didalamnya juga selalu bernuansa santri.
Tuntutan tersebut dalam Buku “Pendidikan Berbasis Masyarkat” (Lihat: Zubaedi:2005:1) muncul dlatarbelakangi oleh dua kondisi. Pertama, bangsa Indonesia saat ini sepertinya telah kehilangan karakter yang telah dibangun berabad-abad. Keramahan, tenggang rasa kesopanan, rendah hati, suka menolong, solidaritas social, dan sebagainya yag merupakan jati diri bangsa seolah-olah hilang begitu saja. Keadaan ini telah menggugah kesadaran bersama terhadap perlunya memperkuat kembali dimensi moralitas bangsa kita termasuk yang menjadi objek dalam penelitian ini.
Kedua, kondisi lingkungan social kita belakangan ini diwarnai oleh maraknya tindakan barbarisme, vandalismebaik fisik maupun non-fisik, adanya model-model KKN baru, hilangnya keteladann pemimpin, sering terjadi pembenaran politik dalam nerbagai permasalahan yang jauh dari kebenaran universal, larutnya semangat berkorban bagi bangsa dan Negara(Zubaedi:2005:1)
Dapat dikatakan krisis moral yang menimpa bangsa semakin menjadi-jadi yang ditandai dengan maraknya tindakan asusila sampai-sampai banyak mahasiswa disergap diberbagai lokasi wisata meakukan tindak yang tidak senonoh yang tidak sesuai dengan harapan bangsa pada umumnya dan STKIP Hamzanwadi Selong pada khususnya. Akibatnya, tingkat kenyamanan, keamanan serta cap santri Desa Pancor sedikit demi sedikit mulai memudar. Antusias dan rasa was-was menjadi perasaan yang harus dimiliki oleh lembaga-lembaga terkait khususnya lembaga STKIP Hamzanwadi Selong.
Menurut pengamat social, terjadinya krisis moral seperti sekarang sebagian bersumber dari lembaga pendidikan nasional yang dianggap belum optimal membentuk kepribadian peserta didik (Zubaedi: 2005: 2). Persoalan seperti ini memberikan peluang dalam berpersepsi bagi pengamat maupun kelompok tertentu yang memiliki keterkaitan dengan masalah tersebut. STKIP Hamzanwadi selong sebagai perguruan tinggi yang berada diwilayah Lombok Timur memiliki hak andil dalam menerapkan berbagai pendekatan-pendekatan demi peningkatan kualitas hasil didikan (peserta didik/mahasiswa).
Aturan yang baru-baru ini misalnya, yang dirasa menjadi sebuah slogan saja bagi mahasiswa dalam aktivitas perkuliahan sehari-hari. Betapa tidak, kontrol berkelanjutan sebagai bentuk aplikasi aturan ini masih kurang. Banyak mahasiswa yang bercelana jeans, baju ketat, sandal jepit, kaos oblong, menjadikan persoalan ini diangkat sebagai karya tulis dalam tugas akhir ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar